Home | Scholarly Writing | Popular Writing | Humor | Link | Profile  

 

Thursday, July 29, 2010

Seyyed Hossein Nasr, Peradaban Milenial Timur dan Pengetahuan Suci

By: Asfa Widiyanto
reviewed work: Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science, (Surrey: Curzon Press, 1993)


Abstrak
Tulisan ini berusaha mengkaji kaitan antara “ilmu pengetahuan modern”, “ilmu pengetahuan tradisional” dan ”pengetahuan suci” yang terdapat dalam salah satu karya Nasr, The Need for a Sacred Science. Setelah mengkritisi paradigma ilmu pengetahuan modern --dalam dataran ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya— Nasr mengelaborasi dan merestorasi konsep “ilmu pengetahuan tradisional” dan “pengetahuan suci”. Kedua paradigma yang disebut terakhir ini, diyakini Nasr, berlandaskan pada metafisika dan Kesucian, dan akan menemukan momentumnya kembali di era modern ini.


Key words: the paradigm of modern science, traditional science, and scientia sacra


Prawacana
Seyyed Hossein Nasr, penulis buku ini, adalah seorang perenialis terkenal yang menganalisis secara hampir sempurna tentang spiritualitas dan filsafat. Reputasinya sebagai guru besar di tiga benua, selama tiga puluh tahun lebih, telah melahirkan sejumlah karya intelektual.
The Need for a Sacred Science, salah satu karya intelektual Nasr, mencoba membahas pengetahuan yang berakar dari Kesucian (the Sacred), landasan metafisik pengetahuan suci (sacred science, scientia sacra), perbedaannya dengan ilmu pengetahuan modern, dan relevansinya dengan beberapa isu utama kemanusiaan dewasa ini.

Buku ini terdiri dari empat bagian, namun untuk lebih terfokusnya tinjauan ini, penulis hanya mengkaji bagian ketiga, “Science: Traditional and Modern”. Bagian ini berusaha membahas ilmu pengetahuan Barat dan kebudayaan timur, pengetahuan tradisional dan makna spiritual alam, yang secara keseluruhan bahasan-bahasan ini mengacu pada tema sentral pengetahuan suci.

Ilmu Pengetahuan Barat dan Kebudayaan Timur
Adalah urgen, menurut Nasr, untuk mencoba mencoba mencari hubungan antara ilmu pengetahuan Barat dengan wacana kebudayaan Timur, untuk melihat watak ilmu pengetahuan Barat, dengan klaim dominasi globalnya, dan peradaban Timur, yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya pengetahuan suci.

Ilmu pengetahuan Barat ini diletakkan dalam posisi yang berbeda dengan kebudayaan timur, bukan karena menafikan keterpengaruhan dan kontribusi peradaban Timur terhadap ilmu pengetahuan Barat, namun karena ilmu pengetahuan Barat sejak renaissance (aufklarung) telah menciptakan bentuk dan paradigma baru yang diderivasikan dari corak pemikiran rasionalistis dan antropomorpis serta sekularisasi kosmos. Bentuk baru ini melahirkan ilmu pengetahuan yang monolitik dan unilateral.

Nasr mengakui bahwa ada beberapa perbedaan di antara berbagai macam kebudayaan Timur, namun ada bagian yang menyatukan kebudayaan Timur tersebut, yakni agama dalam pengertian seluas-luasnya, atau “tradisi”, yang menekankan sifat hirarkis realitas, keunggulan hal-hal spiritual atas material, karakter suci kosmos, keterkaitan nasib manusia dengan lingkungan alam, kesatuan pengetahuan dan kesalinghubungan antar segala sesuatu.

Sekarang di Barat, menurut Nasr ada kecenderungan baru di sementara orang Barat untuk mengkaji khazanah spiritual Timur, karena melihat bahwa ilmu pengetahuan yang mereka miliki telah menimbulkan krisis. Sedangkan di Timur sendiri, ada semacam dua cara pandang terhadap alam; perspektif tradisional mereka dan perspektif ilmu pengetahuan Barat –yang mereka adopsi. Perspektif tradisional masih dalam bentuk perenialnya karean ia berakar dari prinsip-prinsip yang tidak berubah, sedangkan pandangan dunia sains, bukan hanya baru dalam sisi lahirnya, namun juga akarnya, paling tidak dalam aspek-aspek tertentu.

Nasr memandang bahwa krisis lingkungan yang terjadi di Barat mengingatkan bahwa ada kesalahan mendasar dalam konsep manusia dan hubungannya dengan alam, yang dibangun dengan melupakan pengetahuan suci –yang memandang manusia dan kosmos dalam hubungan yang harmonis.

Lebih jauh lagi, Nasr melihat bahwa ada semacam efek langsung dari penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap peradaban manusia, di antaranya, khususnya dari sudut pandang peradaban tradisional, yakni pemecahan (comparmentalization) pengetahuan dan akhirnya perusakan terhadap pengetahuan akhir atas realitas, scientia sacra, atau Gnosis (ma’rifah) yang terletak di jantung setiap tradisi integral, sebagaimana juga kemunduran pengetahuan suci tentang tatanan (keteraturan) alam.

Peradaban tradisional memberikan tempat tersendiri pada bijaksanawan (sage) sebagai figur sentral dalam masyarakat. Bijaksanawan boleh jadi terdidik dalam beberapa cabang khusus sains, namun yang lebih penting dari itu adalah pengetahuannya tentang kebenaran dalam aspek universal, dan perhatiannya terhadap akhir perjalanan manusia dan kebahagiaannya.
Perkawinan antara metafisika dan ilmu-ilmu kosmologi sangat jelas dalam peradaban tradisional bukan hanya sebagai pengungkapan kebenaran yang terletak dalam segala sesuatu, namun juga realitas praktis yang esensial bagi kesejahteraan manusia.

Dengan demikian pengetahuan khusus selalu berhubungan dengan keseluruhan, dan keselarasan bagian vis-a-vis keseluruhan selalu dijaga. Pandangan tentang keseluruhan selalu berkaitan dengan perasaan tentang kesucian. Kehilangan perasaan tentang keseluruhan juga bisa menjadi buta terhadap perasaan tentang kesucian dan akhirnya melupakan tatanan keseluruhan.

Perusakan terhadap kemenyeluruhan (wholeness) kehidupan manusia semakin meluas, dan yang lebih besar lagi adalah keterpecahan pikiran manusia dan disintegrasi psikis manusia, yang berkaitan dengan hilangnya pengetahuan prinsipil, dan konsekuensi logis dari segmentasi apa yang dipelajari dan diketahui manusia. Ini berkaitan dengan hilangnya pengetahuan suci.
Kehilangan “pusat” (center) pada peradaban Barat telah menimbulkan bukan saja segmentasi berbagai cabang pengetahuan tapi juga pemisahan antara pikiran dan tindakan. Pada tingkat yang lain, kehilangan ini mengakibatkan pemisahan antara sains dan etika, yang saat ini dunia modern menjadi menderita karenanya.

Peradaban tradisional tidak (pernah) antroposentris dalam perspektif dan tidak memisahkan manusia dari ‘tatanan Ilahi’ atau makhluk-makhluk lain yang berbagi rahmat dengannya. Etika dalam peradaban tradisional mencakup tidak hanya masyarakat manusia namun semua makhluk di bumi. Sebaliknya masyarakat Barat menciptakan hukum etika yang meliputi manusia saja, dan dalam kenyataannya, orang Barat saja, sedangkan hukum lain digunakan untuk penduduk benua lain. Makhluk-makhluk lain diposisikan untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa memiliki suatu hak apapun. Sebenarnya, kata Nasr, orang Barat pada abad pertengahan hidup dalam warisan etika Kristen namun secara bertahap memisahkan diri dari doktrin Kristen, dan cenderung memformulasikan “etika ilmiah”.

Dalam kondisi inilah sebetulnya dibutuhkan pengetahuan suci, sebuah filsafat alam dan pandangan dunia yang menyeluruh dan dapat memberikan arah baru ilmu pengetahuan modern. Pada poin kritis ini, peradaban tradisional yang masih hidup dapat memainkan peran utama dalam transformasi ilmu pengetahuan modern dengan memberikan pandangan dunia yang lebih luas yang dapat dilihat untuk apa sebenarnya mereka, dan dalam kasus tertentu bahkan memberikan bentuk hidup baru pada ilmu pengetahuan, mentransformasikan mereka dalam bagian-bagian dalam alam ini dari pengetahuan dan pengalaman.

Keberlangsungan peradaban Timur tidak bergantung banyak pada keberhasilan langsung dalam dataran material, namun lebih pada kemampuan mereka untuk memelihara pandangan kesatuan yang mengikat berbagai tingkat pengetahuan dan realitas, spiritual dan material ke dalam keseluruhan yang tak terpisahkan.

Ini adalah pandangan yang terdapat dalam pengetahuan suci dan yang manusia modern berusaha mencari jalan untuk menyelamatkan diri dari efek (yang) merusak dari aktivitas mereka sendiri. Tiada yang lebih tragis bagi dunia secara keseluruhan dari, jika, orang Barat yang telah lama melupakan perasaan tentang kesatuan, berusaha menemukannya untuk menyelamatkan diri mereka, sementara peradaban Timur melupakan pandangan kesatuan dan pengetahuan suci yang terletak di jantung kebudayaan mereka.

Ilmu Pengetahuan Tradisional
Ilmu pengetahuan tradisional lebih berkaitan dengan sisi esoteris daripada sisi eksoteris sebuah tradisi. Sifat ilmu pengetahuan tradisional, bentuk, pola dan simbol yang berkenaan dengannya, menuntut dasar-dasar ilmu pengetahuan ini berhubungan dengan “pengetahuan tertingi” dan dimensi esoteris tradisi. Oleh karena itu jika dipisahkan dari akar dan setting tradisionalnya ia nampak seperti “ilmu ghaib”.

Dari sudut pandang tradisional, kata Nasr, tidak ada wilayah yang dapat dianggap sepenuhnya profan. Alam adalah pengejawantahan dari prinsip Ilahi; dan tidak ada wilayah realitas yang dapat dipisahkan sepenuhnya dari prinsip tersebut. Ilmu metafisika dan kosmologi dalam peradaban tradisional tentu merupakan pengetahuan suci yang berdasarkan pengetahuan tentang manifestasi, bukan sebagai maya, namun sebagai simbol dan ayat Ilahi, sebagai viestigia Dei.

Perbedaan utama antara ilmu pengetahuan tradisional dan ilmu pengetahuan modern terletak dalam kenyataan bahwa dalam ilmu pengetahuan tradisional, hal-hal profan selalu marginal, dan kesuciam adalah sentral. Sedangkan dalam ilmu pengetahuan modern yang profan menjadi sentral, dan intuisi serta penemuan yang berasal dari Asal Ilahi menjadi periferal.
Ilmu pengetahuan tradisional berdasarkan pada pandangan hirarkis terhadap alam, memandang dunia fisik sebagai wilayah terendah yang merefleksikan keadaan yang lebih tinggi dengan perantaraan simbol yang merupakan pintu menuju “yang tak terlihat”.

Bahasa, yang dengannya ilmu pengetahuan tradisional mengungkapkan selama beberapa abad, tidaklah sama. Beberapa tradisi bersifat mitologis, sedangkan yang lain menggunakan bahasa yang lebih abstrak untuk mengekspresikan kebenaran.
Bahasa suci, tanda bunyi, ungkapan dari bahasa tersebut, makna esoteris alpabetnya, menempati jantung dari hampir semua ilmu pengetahuan tradisional. Dan yang sangat berkaitan dengan ilmu pengetahuan tradisional tentang bahasa dan alpabet adalah matematika tradisional, khususnya cabang-cabang utamanya: aritmetika, geometri, musik, dan astronomi. Matematika merupakan bahasa khusus yang berbicara tentang keselarasan batin sesuatu. Secara lahiriah ia berurusan dengan kuantitas namun secara batiniah merupakan tangga menuju dunia yang dapat dpikirkan.

Alkemi berdasarkan pada pandangan priomordial tentang bumi sebagai being yang hidup dengan bantuan pengaruh langit mengembangkan logam yang berada di luar susunan alam. Alkemi adalah cara memuliakan materi, karena berhubungan dengan seni suci. ini berarti alkemi bukan saja merupakan pengantar kimia, namun merupakan pengetahuan tentang jiwa dan kaitannya dengan kosmos, dan menggunakan transformasi luar untuk kepentingan transformasi dalam yang menjadi tujuan akhir semua ilmu pengetahuan tradisional.

Kedokteran tradisional dan farmakologi selalu berhubungan dengan sejarah alam, yang melihat manusia sebagai bagian dari tiga kerajaan, dan sebuah lingkungan alam, yang diciptakan Tuhan, juga menjadi simbol dunia spiritual. Pentingnya sejarah alam bagi khususnya tema-tema keagamaan dari berbagai tradisi dapat dilihat pada bagian ilmu-ilmu yang berurusan dengan “geografi suci”, di mana peradaban tradisional memandang bumi sebagai simbol yang mengejawantahkan hirarki vertikal.

Teknologi tradisional berkaitan dengan kerajian dan “seni” (art) dalam makna aslinya (techné sebenarnya sama dengan ars yang berarti “membuat”). Dalam bentuk tradisional teknologi, pengetahuan yang diperoleh oleh pengetahuan tradisional dikombinasikan dengan metode praktis untuk menciptakan hasil yang mempengaruhi tubuh dan jiwa pembuat, pengguna, pelihat dari obyek atau kerja tersebut.

Dengan demikian ilmu pengetahuan tradisional merupakan penerapan prinsip-prinsip metafisik dan tipe-tipe tertentu pikiran, dan tangga menuju prinsip-prinsip tersebut. Dalam konteks tradisi yang hidup, ia merupakan sarana semua sisi kehidupan dan pengetahuan diintegrasikan dalam pusat tradisi. Ilmu pengetahuan ini bisa menjadi kunci penting untuk memahami kosmos dan membantu perjalanannya melewati dan dalam kosmos. Walaupun merupakan pengetahuan tentang wilayah kosmis, ia bisa menjadi dengan bantuan simbol jiwa yang memancarkan realitas spiritual di luar bentuk dan membantu manusia mencapai keadaan “melihat Tuhan di mana-mana”.

Fungsi tertinggi ilmu pengetahuan tradisional adalah membantu intelek dan instrumen-instrumen persepsi untuk melihat dunia dan semua tingkatan eksistensi, bukan sebagai fakta atau obyek, namun sebagai simbol, sebagai cermin yang dengannya terrefleksikan wajah Tercinta, yang dari-Nya semua berasal dan kepada-Nya semua kembali.

Makna Spiritual Alam
Bukan hanya ada ilmu pengetahuan suci dan tradisional yang digali dari berbagai peradaban tradisional, dan menaruh perhatian pada studi kosmos dalam sinaran prinsip-prinsip metafisik. Namun ada juga dimensi pengetahuan suci yang menaruh perhatian pada alam sebagai keseluruhan sebagaimana makna spiritual alam diperhatikan. Alam mempunyai makna spiritual, yang dengannya setiap tradisi spiritual integral memperhatikan, walaupun penekanan pada dimensi realitas ini tidaklah sama pada setiap tradisi.

Makna spiritual alam mengejawantahkan dirinya pada berbagai tingkatan dan melalui beberapa saluran. “Alam murni” (virgin nature) memiliki keteraturan dan keserasian. Keteraturan ini, lebih jauh lagi, berkaitan dengan keserasian yang luar biasa, yang dalam perasaan musik, secara teknis meliputi semua bagian alam dari bintang sampai partikel-partikel sub-atomis. Proporsi bagian-bagian binatang, tumbuhan dan strukur kristal, mengejawantahkan kehadiran keserasian yang meliputi semua keteraturan alam. Keseluruhan kosmos tidak hanya memiliki eksistensi mereka sesuai dengan hukum keserasian, namun bergerak dengan ritme tarian kosmis.

Kehidupan alam bukan hanya memancarkan keserasian dan keteraturan, namun juga hukum-hukum yang membuat keserasian dan susunan. “Hukum alam” tidak lain adalah hukum Tuhan untuk makhluk-Nya, shari’ah (dalam maknanya yang umum) dari setiap keteraturan eksistensi, dengan menggunakan terminologi Islam. Atau jika kita menengok pada bahasa Budisme, “hukum alam” adalah dharma segala sesuatu.

“Alam murni” memanifestasikan kesucian dan menyerahkan diri secara utuh pada kehendak Pencipta, atau pada dharama mereka. Penyerahdirian alam pada dharma-nya dan keserasian tidak hanya membawa pada “kualitas moral” yang meliputi susunan alam ketika susunan ini dipandang dari sudut pandang tradisional; mereka juga sebagai hasil keindahan tiada tara yang harus diamati di mana saja di alam.

Pesan spiritual alam, kata Nasr, tidaklah terdapat hanya dalam keseluruhan keindahan dari bentuk, gerakan dan kualitasnya, namun juga dalam simbol yang merupakan refleksi langsung berbagai Kualitas Ilahi. Pesan spiritual dari simbol-simbol alam tidak didasarkan pada sentimen atau semacam mistisisme alam yang samar . Ia didasarkan pada pengetahuan suci, yang merupakan pengetahuan tentang keselarasan kosmis dan berkaitan dengan realitas ontologis bentuk-bentuk alam.

Pengetahuan tentang simbol-simbol susunan alam, kata Nasr, dibangun dalam dada beberapa kosmologi tradisional. Dalam hal ini makna spiritual alam telah direkapitulasikan dalam bahasa yang dipahami, sedemikian rupa sehingga memungkinkan manusia tradisional, untuk mencari peta yang dengannya bisa mengorientasikan dirinya dalam perjalanan spiritual melewati kosmos dan merenungkan keseluruhan kosmos sebagai gambar yang merefleksikan kekuatan dan kebijaksanaan “Pelukis Ilahi”.

Pada tingkat tertinggi, kata Nasr, alam murni dapat direnungkan sebagai teofani yang memiliki pesan metafisik dan disiplin spiritual tersendiri. Alam mengejawantahkan yang satu dari kualitas keserbaragam-Nya. Dia berdo’a, memohon dan beribadah. Namun untuk berpartisipasi dalam do’a dan ibadah alam, dan membaca pesan Gnosis terdalamnya, membutuhkan pemilikan terlebih dahulu kesadaran spiritual yang tinggi.

Seyyed Hossein Nasr dan Tradisi Filsafat Islam
Seyyed Hossein Nasr, dilahirkan di Teheran, 7 April 1933, filosof Iran dan exponent Islam tradisional, dianggap sebagai salah seorang cendekiawan terpenting dalam kajian keislaman dan keagamaan. Keluasan interaksi akademiknya, baik di kalangan muslim atau non-muslim, ditambah kecerdasan dan kegigihannya dalam mencari pengetahuan yang membebaskan, menjadikannya memiliki keluasan wawasan.

Seperti halnya pemikir Malaysia Syed Naquib al-Attas (l. 1931) dan cendekiawan Arab-Amerika Ismail Raji al-Faruq (1921-1986), proyek utamanya adalah untuk menghidupkan kembali “the lost sense of wonder” (Abaza, 2000: 94). Karena itu dalam sebuah artikel (Gazo, 2001: 278-279), upaya Nasr tersebut disebut “the project of reenchantment”. Dalam upayanya membangkitkan kembali rasa kesucian, Nasr menekankan peran intellectus. Dengan demikian metafisika dan spiritualitas (juga) berperan dalam proyeknya.

Memahami pemikiran Seyyed Hossein Nasr, terutama tentang “pengetahuan suci” (sacred science, scientia sacra) tidak bisa dilepaskan dari perkembangan filsafat Islam sendiri. Filsafat Islam lahir berkenaan dengan upaya rasional manusia muslim dalam memikirkan hakekat “yang ada” (being), dan dalam banyak hal, upaya ini dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani yang masuk dalam wilayah komunitas dan peradaban muslim.

Salah satu di antara kecenderungan yang ada dalam filsafat Islam adalah al-hikmat al-mashsha’iyyah (filsafat peripatetik), yang merupakan sintesis ajaran-ajaran wahyu Islam, Aristotelianisme dan Neoplatonisme, baik Atenian maupun Alexandrian. Filsafat Perpatetik ini ditemukan dalam iklim intelektual yang kaya di Baghdad oleh al-Kindi (w. 260/873). Usaha ini kemudian diteruskan oleh al-Farabi (w. 339/950), dan mencapai puncaknya dengan Ibn Sina, yang barangkali terbesar dan secara pasti mempengaruhi sebagian besar filosof muslim (Nasr, 1996: 33-38). Namun pada akhirnya Ibn Sina menyimpang dari filsafat peripatetik dan menjurus ke arah filsafat iluminasi (al-hikmat al-ishraqiyyah)[1] yang cenderung kepada Sufisme. Pandangan tersebut oleh Ibn Sina dituangkan dalam bukunya al-Isharat dan dalam beberapa karyanya yang belum pernah diterbitkan, yakni Hikmat Mashriqiyyah (al-Ahwani, 1995: 85).

Filsafat Islam, meskipun mengalami gerhana pada abad ke-5/11 M di Persia dan di negeri-negeri timur lainnya akibat serangan al-Shahrastani dan al-Ghazali, tidaklah sekedar hijrah ke Spanyol dan menikmati musim semi yang singkat di tangan ibn Bajah, ibn Tufayl, dan ibn Rushd, dan akhirnya mati mengering di ujung barat dunia Islam. Filsafat ibn Sina dihidupkan kembali oleh Nasiruddin Tusi dan kelompoknya dia bad ke-7 H/13 M. Sementara dua generasi sebelumnya, suatu perspektif intelektual yang baru, dikembangkan oleh Suhrawardi (1155-1191) yang dinamainya madhhab Ishraqi (Nasr, 1996b: 8)–yang merupakan sintesis antara tradisi peripatetik dan Gnosis. Suhrawardi juga seorang mistikus besar yang merestorasi dasar-dasar Islam tentang filsafat perenial, yang ia sebut al-hikmat al-laduniyyah atau al-hikmat al-‘atiqah, yang ada dalam (khazanah) peradaban Hindu, Persia, Babilonia, Mesir, dan Yunani (Nasr, 1963: I: 376).

Pemikiran filosofis tersebut kemudian berkembang secara ekstensif, yang ditandai oleh tokoh-tokoh seperti Qutb al-Din Shirazi dan keluarga Dashtaki, dan mencapai kulminasinya dalam madhhab Isfahan yang dibangun oleh Mir Damad dan mencapai titik puncaknya pada Mulla Sadra, muridnya, yang berusaha mengembangkan al-hikmat al-muta’aliyyah (transcendental philosophy), yang merupakan sintesis final antara ishraq, mashsaha’iyyah, ‘irfan, dan kalam (Razavi, 1997: 122-130).

Pemikiran filosofis terus berkembang, terutama di kalangan Shi’ah Iran, sebagai tradisi filsafat Islam yang hidup. Dalam kondisi demikian itulah Seyyed Hossein Nasr hidup dan berdialektika dengan tradisi tersebut. Maka kita lihat, Seyyed Hossein Nasr banyak mendasarkan diri pada warisan dan tradisi yang ada tersebut untuk kemudian membangun kerangka pikirnya, dalam hal ini, bisa kita lihat dalam konsep “pengetahuan suci”-nya.

Jika kita lihat secara cermat, sebenarnya struktur pemikiran Nasr hampir serupa dengan struktur pemikiran Suhrawardi. Suhrawardi mengemukakan kesatuan dan universalitas prinsip-prinsip ketuhanan, yang akhirnya mengantarkan dia untuk mengenalkan term-term seperti al-hikmat al-laduniyya dan al-hikmat al-‘atiqa (Nasr, 1964: 61-62). Posisi Suhrawardi ini bersesuaian dengan Nasr, yang berpendapat bahwa ada kebijaksanaan yang bersifat abadi dan universal, karena itu dia ikut membangun madhhab perenial (sophia perennis atau philosophia perennis). Suhrawardi dan Nasr sangat apresiatif terhadap penalaran diskursif dan intellectus, dan mendasarkan filsafat mereka pada dua perangkat metodologis tersebut. Isu tentang persinggungan antara Barat dan Timur merupakan concern Suhrawardi dan Nasr. Dalam hal ini, salah satu karya Suhrawardi tentang isu ini perlu disebut, Qissat al-Ghurbat al-Gharbiyya.

Pengaruh karya-karya Suhrawardi tidak terbatas pada dunia Islam, namun juga mencapai tradisi lain seperti Hindu, Yahudi, dan Zoroastrianisme (Nasr, 1964: 82). Hal yang sama juga bisa dikatakan tentang karya-karya Nasr. Filsafat Suhrawardi sangat kaya, menyinggung tentang filsafat agama, etika, seni, logika, alam, dan matematika. Dia menganggap bahwa walaupun elemen-elemen ini berbeda namun merepresentasikan kesatuan, atau dengan kata lain, merupakan sarana memahami keterkaitan antara kathrah dan wahdah. Tema yang serupa juga terlihat dalam filsafat Nasr, yang juga menekankan hubungan antara unity dan multiplicity, dan antara filsafat dan agama.

Dalam banyak hal, magnum opus Suhrawardi, hikmat al-Ishraq, juga bisa disandingkan dengan magnum opus Nasr, Knowledge and the Sacred. Suhrawardi mengklaim bahwa bukunya ini ditulis dalam waktu yang sangat pendek, karena diberi inspirasi oleh ruh al-quds (Nasr, 1964: 66). Hal yang sama juga bisa dinyatakan tentang magnum opus Nasr. Karya jenius ini ditulis dalam waktu beberapa bulan, dan dianggap Nasr sebagai hadiah dari langit.
Saya menganggap Nasr sebagai salah seorang pewaris tradisi pemikiran Suhrawardi. Jika kita cermati sejarah filsafat Islam, kita menemukan figure-figur seperti Mir Damad (w. 1630) dan Mulla Sadra (ca. 1571-1640), yang sangat apresiatif terhadap Suhrawardi dan pemikirannya. Mereka semua adalah pewaris tradisi pemikiran Suhrawardi. Jika kita mencermati karya-karya Nasr, kita akan mendapatkan bahwa Suhrawardi merupakan salah seorang figur yang sangat mempengaruhi struktur pemikiran Nasr.

Mulla Sadra juga merupakan tokoh yang mempengaruhi pemikiran Nasr, walaupun demikian saya melihat Mulla Sadra sebagai seorang yang berada dalam koridor tradisi pemikiran Suhrawardi, walaupun dalam beberapa hal dia berupaya untuk mengembangkan dan mengkritisinya. Mulla Sadra, menurut Henry Corbin (1990: 112), adalah komentator terbaik terhadap karya dan pemikiran Suhrawardi. Oleh karena itu saya kira relevan menganggap Nasr sebagai Neo-Suhrawardi, penerus tradisi pemikiran Suhrawardi dalam dunia kontemporer.

Seyyed Hossein Nasr, Ilmu (Pengetahuan) Modern dan Ilmu (Pengetahuan) Tradisional

Jika melihat pemikiran Nasr, antara lain yang tertuang dalam bab ‘Science : Traditional and Modern’ yang telah kita bahas di atas, kita akan menyadari bahwa Nasr termasuk salah seorang cendekiawan yang secara tegas dan lugas mengkritisi tradisi ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat.

Kritik Nasr, boleh dikatakan, sangat mendasar, karena mengarah pada landasan ontologis, aksiologis, dan epistemologis. Menurut Nasr, pada dataran ontologis, ilmu pengetahuan modern mempunyai kelemahan, karena berdasarkan pada asumsi pemisahan antara pengetahuan dan “yang ada”, sekularisasi kosmos, dualisme mind dan matter. Pada ranah epistemologis, ilmu pengetahuan modern mendasarkan pada rasionalisme dan empirisme, mendasarkan pada paradigma “naturalisme” (pemiskinan realitas kosmos), mengingkari peran intellectus dan peran metafisika dalam penemuan ilmu. Dalam wilayah aksiologis, ilmu pengetahuan modern berdasar pada pemisahan antara ilmu pengetahuan dan etika, dan pada asumsi bahwa “Yang Suci” tidak mempunyai peran dalam penemuan dan penerapan ilmu.

Sebagai antitesis dari ilmu pengetahuan modern, Nasr mengelaborasi konsep ilmu pengetahuan tradisional. Secara ontologis, ilmu pengetahuan tradisional didasarkan pada perspektif hirarkis terhadap alam, memandang dunia fisik sebagai realitas yang merefleksikan wilayah realitas lain yang lebih tinggi. Nasr berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tradisional tidak pernah terpisahkan dari prinsip-prinsip metafisika, bahkan merupakan penerapan dan tangga menuju prinsip-prinsip tersebut. Dengan demikian secara ontologis, ada kaitan erat antara metafisika dan ilmu pengetahuan tradisional.

Pada tataran epistemologis, ilmu pengetahuan tradisional didasarkan pada wahyu, intellectus, dan akal, yang ketiganya bekerja secara simultan. Nasr percaya bahwa fungsi utama dari ilmu pengetahuan tradisional adalah untuk membantu intellectus dan instrumen-instrumen perceptive lainnya untuk melihat alam bukan sebagai obyek namun sebagai simbol dan cermin yang merefleksikan wajah Tuhan.

Ilmu pengetahuan tradisional adalah aspek intelektual dan rasional dari sebuah tradisi. Sebuah tradisi yang tidak menaruh perhatian pada aspek rasional dan intelektual akan menjadi dogmatis dan takhayul. Dalam hal ini kita menyadari bahwa Nasr berupaya untuk menjelaskan dan merestorasi landasan suci dari ilmu pengetahuan. Sebuah publikasi (Bakar, 1999: 61) mengemukakan bahwa Nasr berupaya menunjukkan hubungan antara sains dan pengetahuan spiritual.

Seyyed Hossein Nasr dan Pengetahuan Suci (Scientia Sacra)
Pengetahuan suci Nasr artikan sebagai pengetahuan terhadap realitas, yang terletak dalam jantung setiap tradisi integral. Pengetahuan ini, menurut Nasr, dapat diidentikkan dengan metafisika sebagaimana yang dipahami secara tradisional, atau ma’rifah.

Konsep pengetahuan suci terbut bukanlah sesuatu yang baru, dan memang Nasr tidak pernah mengklaimnya sebagai konsep orisinalnya. Konsep pengetahuan suci tersebut banyak dilandaskan pada warisan dan tradisi pemikiran yang ada sebelumnya.

Pengetahuan suci, yang menurut Nasr, diperoleh melalui intellectus[2] dan dapat dirunut akar keterpengaruhannya dalam konsepsi Suhrawardi tentang al-‘ilm al-huduri (knowledge by presence). Al-‘ilm al-Huduri, dalam pandangan Suhrawardi, merupakan pengetahuan yang didasarkan pada sesuatu yang nyata dan hadir dengan sendirinya (self evident) dan memiliki obyek yang swaobyektif, dalam arti realitas kesadaran dan yang disadari oleh diri secara eksistensial adalah sama (Yazdi, 1996: 51).

Proses identitas antara kesadaran dan obyek kesadaran mengandaikan beberapa premis ontologis:
1. Ada hubungan ontologis antara pengetahuan dan being
2. Ada semacam pengetahuan primordial yang diperoleh manusia sebelum dia lahir ke dunia
3. Hal-hal aksidental dalam diri manusia menghambat aktualisasi pengetahuan primordial ini. Dengan membersihkan hal-hal aksidental ini manusia dapat mencapai pengetahuan tersebut.
4. Dalam diri manusia ada ranah yang merupakan percikan dari Tuhan. Lewat ranah inilah –jika dipelihara kesuciannya— manusia dapat mengenal Tuhan. Karena itu ada resiprositas dan identitas antara ranah ketuhanan ini dengan Tuhan itu sendiri.
Pengetahuan semacam itu diperoleh melalui inteleksi, yang menurut Suhrawardi, merupakan salah satu bentuk vision (mushahadah), yang dengannya seseorang bisa melihat arketip-arketip dalam dunia imaginal (Razavi, 1997 : 90-91).

Konsep pengetahuan suci juga bisa kita temukan akar keterpengaruhannya dalam konsep ibn ‘Arabi tentang pengetahuan intuitif, yang menurutnya, merupakan pengetahuan tentang kebenaran itu sendiri, yakni pengetahuan tentang realitas-realitas dari segala sesuatu sebagaimana adanya. Pengetahuan semacam ini, kadang disebut oleh ibn ‘Arabi sebagai ma’rifah, yang merupakan pengetahuan kudus (divine science). Pengetahuan ini sangat mirip dengan kategori pengetahuan ketiga dari Spinoza, yaitu scientia intuitive, yang menurutnya merupakan suatu keadaan di mana kesadaran manusia terserap dalam Amor Intelektualis Die (Affifi, 1995: 146-149).

Dengan demikian, konsep pengetahuan suci ini dapat diperiksa akar keterpengaruhannya dalam tradisi filsafat Islam yang hidup, terutama sekali madhhab ishraqi, transendental, dan perenial; atau lebih luasnya, digali dari tradisi dan peradaban timur.

Maka tidak mengherankan bila pemikir lain, yang sangat terpengaruh madhhab ishraqi dan perenial, seperti Frithjof Schuon –yang banyak dirujuk Nasr dalam karya-karyanya— juga mengemukakan konsep pengetahuan suci (scientia sacra) , yang menurutnya berarti pengetahuan yang mentransendensi keyakinan manusia yang sadar dan Deo Juvante yang dapat dicapai oleh intelek murni (Schuon, 1994: 207).

Konsep Nasr bisa dipahami jika kita meletakkannya dalam konteks peradaban timur, yang memandang ada kesatuan organik antara sains dan pengetahuan spiritual. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam peradaban Islam, yang menempatkan ilmu terkait dengan prinsip keesaan Ilahi (al-tawhid) (Bakar, 1994: 73), sehingga visi keilahian nampak dan melingkupi semua ilmu pengetahuan. Hal ini berbeda dengan peradaban Barat yang mereduksi visi keilahian sains, sehingga kehilangan visi kesatuan dan menimbulkan krisis kemanusiaan (al-Attas, 1995: 28).
Urgensi dan orisinalitas pemikiran Nasr –tentang pengetahuan suci—terletak dalam usahanya mengelaborasi pengetahuan suci dari tradisi timur –terutama tradisi Islam— dan memformulasikkan kerangka argumentasi untuk mendukung urgensi pengetahuan suci tersebut, yang diharapkan bisa menawarkan dan memberi solusi dari krisis kemanusiaan Barat, secara khusus, dan kemanusiaan, secara keseluruhan. Dengan demikian Nasr berupaya mengelaborasikan dan menyampaikan kebenaran milineal Timur dalam bahasa kontemporer.

Purnawacana
Uraian tentang substansi pemikiran Nasr tentang kaitan antara pengetahuan dan kesucian, sebagaimana terdapat dalam bukunya The Need for a Sacred Science akan lebih dipahami jika kita meletakkannya dalam tradisi filsafat Islam, secara khusus, dan filsafat timur, secara umum. Elaborasi Nasr tentang pengetahuan suci dan ilmu pengetahuan tradisional menemukan relevansinya dalam situasi kontemporer, ketika paradigma ilmu pengetahuan modern mendapat banyak kritikan, termasuk dari pemikir Barat sendiri.

Akhirnya, adalah suatu hal yang amat naif bila penulis berkeyakinan –dan bersikeras—bahwa tulisan ini sudah sempurna ; namun paling tidak inilah usaha penulis dalam mendekatkan diri pada kebenaran –kebenaran sebagai suatu hal yang absolute, ultimate, dan infinite tidak bisa kita capai. Semoga saja tulisan ini masih mempunyai nilai ilmiah dan kebenaran, walaupun sedikit, sebab jika tidak, tulisan ini menjadi sia-sia (useless) belaka.

Footnotes:

[1] Kata ishraq dalam bahasa Arab bermakna iluminasi, dan mashriq berarti timur. Keduanya berakar dari kata sharq yang berarti terbitnya matahari. Lebih jauh lagi, kata sifat iluminatif, mashriqiyyah, dan ketimuran, masyriqiyyah, dalam bahasa Arab ditulis sama. Identifikasi simbolis timur dengan cahaya, inheren dalam bahasa Arab dan yang digunakan oleh filosof iluminis, menimbulkan beberapa kesulitan tentang filsafat yang iluminatif dan oriental tersebut. Namun jika kita memperhatikan bagaimana geografi suci dari cahaya timur dan kegelapan barat, dalam karya-karya ibn Sina dan kemudian Suhrawardi, akan menjadi jelas bagaimana iluminasi dan timur disatukan dalam bentuk filsafat ini (Nasr, 1963: I: 378).
[2] Intellectus menurut Nasr berada dia tas akal (reason) dan cepat memperoleh pengetahuan secara langsung. Intelek, dengan demikian, mempunyai konotasi kapasitas mata hati, satu-satunya elemen yang ada pada manusia, yang sanggup menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan alam semesta (Hidayat, 1998: 268, 298).


DAFTAR PUSTAKA

Abaza, Mona. “A Note on Henry Corbin and Seyyed Hossein Nasr: Affinities and Differences”, dalam: The Muslim World, 90 (2000)

Affifi, Filsafat Mistis ibn Arabi. 1995. ter. Syahrir Mawi. Jakarta : Gaya Media Pratama

Al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1995. Filsafat Islam. ter. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus

Al-Attas, Syed Naquib. 1995. Islam dan Filsafat Sains. ter. Saiful Muzani. Bandung: Mizan

Bakar, Osman. 1994. Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Islam. ter. Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah

-----------------. 1999. The History and Philosophy of Islamic Science. Cambridge: Islamic Texts Society

Corbin, Henry. 1977. Spiritual Body and Celestial Earth: From Mazdean Iran to Shi’ite Iran. ter. Nancy Pearson. London: Tauris

Gazo, Ernest Wolf. 2001. “Nasr and the Quest of the Sacred”, in: Lewis Edwin Hahn et al. (eds.), The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. Chicago: Open Court

Hidayat, Komaruddin. 1998. Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina

Nasr, Seyyed Hossein. 1963. “Shihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, dalam: M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy. Wiesbadin: Otto Harrasowitz

---------------------------. 1964. Three Muslim Sages: Avicenna-Suhrawardi-Ibn ‘Arabi. Cambridge: Harvard University Press

---------------------------. 1993. “Science: Traditional and Modern”, dalam bukunya: The Need for a Sacred Science. Surrey: Curzon Press. h. 71-125

--------------------------. 1996a. Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis. ter. Suharsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

--------------------------. 1996b. “Kata Pengantar”, dalam Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Hudhuri. ter. Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan

--------------------------. 1997. Pengetahuan dan Kesucian. ter. Suharsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Razavi, Mehdi Amin. 1997. Suhrawardi and the School of Illumination. Surrey: Curzon Press

Schuon, Frithjof. 1994. Memahami Islam. ter. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka

 

 

<< Home

0 Comments:

Post a Comment

 

    
Powered by: Blogspot.com, Copyright: Asfa Widiyanto, 2010. Recommended browser: Mozilla Firefox / Internet Explorer